Thursday, May 2, 2013

Jangan Terjebak Plagiarisme

Oleh: YOPPY YOHANA

Plagiarisme berasal dari bahasa Latin, Flagiarius. Dalam bahasa Inggris berarti “kidnapper” yang berarti “penculik”. Plagiarisme merupakan bentuk kejahatan intelektual yang dapat merusak dan merugikan seseorang atau kelompok. Menurut Indarti dan Rostiani dalam Arbai (PR,18/1/2013) Plagiarisme dapat mencakup tidak hanya penggunaan sebagian ide, kalimat, paragrap atau keseluruhan teks karya orang lain tanpa menyebutkan sumber aslinya. Dapat pula berbentuk pembiaran orang lain untuk menuliskan atau secara substansial mengubah karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri.

Masalah plagiarisme di dunia pendidikan sebenarnya sudah berlangsung lama sekali. Ada yang dilakukan oleh perorangan bahkan ada juga yang dilakukan secara bersama-sama atau ada “mafianya”. Berbagai cara dilakukan ada yang sembunyi-sembunyi ada juga yang terang-terangan. Beberapa plagiarisme yang sering terjadi diantaranya karya tulis ilmiah hanya diganti nama pembuatnya dan tempat penelitian saja, berbagai judul PTK (Penelitian Tindakan Kelas) diakui milik sendiri padahal karya seseorang dari kota/kabupaten lain. Selain itu di lingkungan kampus pun kita sering mendengar skripsi dan tesis diplagiasi bahkan ada yang dibuatkan oleh dosen pembimbing.

Untuk meningkatkan kualitas guru, pemerintah membuat kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang berlaku efektif sejak awal tahun 2013. Melalui aturan ini guru-guru dituntut untuk membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) atau sekarang disebut Publikasi Ilmiah diantaranya dalam bentuk presentasi di forum ilmiah, hasil penelitian, tinjauan ilmiah, tulisan ilmiah populer, artikel ilmiah, buku pelajaran, modul/diktat, buku dalam bidang pendidikan, karya terjemahan, dan buku pedoman guru. Aturan ini mendapat respon beragam terlebih dari para guru yang tidak terbiasa dengan menulis. Jika guru tidak dibekali oleh pengetahuan dalam pembuatan KTI, maka diprediksi praktek plagiarisme akan kian subur di dunia pendidikan, dengan kata lain guru-guru akan mencari jalan instan hanya untuk mengejar ambisi naik pangkat.

Tentunya, bukan itu yang kita harapkan karena sangat kontra dengan nilai intelektual seorang pendidik. Dengan demikian sangat diperlukan bentuk pelatihan-pelatihan yang isinya diarahkan pada genre “academic writing” dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk plagiarisme. Betapa pentingnya mencamtumkan sumber akan ide seseorang dalam sebuah tulisan sehingga dapat dibedakan mana ide orang lain dan mana ide kritis diri sendiri. Namun jangan pula aturan ini dijadikan sebagai beban, justru sebaliknya dapat dijadikan motivasi dalam pengembangan profesi sebagai guru karena sekarang guru bukan hanya harus melaksanakan profesinya tapi juga mampu mengembangkan profesinya. Untuk mengembangkan profesi bisa dilakukan melalui pengembangan diri, publikasi ilmiah dan karya inovatif.

Tidak dapat dipungkiri, di era digital seperti sekarang ini kemudahan untuk melakukan kecurangan dalam copy paste karya orang lain akan kian mudah pula. Yang harus diingat dan diaplikasikan adalah adanya kesadaran diri untuk menjaga nilai kejujuran dalam suatu karya. Mari berkarya dan bersama-sama memajukan pendidikan di Indonesia. Hati-hati jangan main klaim karya orang lain sebagai milik sendiri.


Penulis, Guru Seni Budaya  SMPN 35 Bandung 
Dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru ( Sabtu, 26/1/2013)