Saturday, August 2, 2014

Menuju Sekolah Adiwiyata

Oleh YOPPY YOHANA

Dengan terbitnya surat dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung Nomor 660/099-BPLH Tanggal 28 Februari 2014, sebanyak 276 sekolah masuk dalam verifikasi penetapan calon Sekolah Adiwiyata 2014 salah satunya SMPN 35 Bandung. Dalam pelaksanaannya SMPN 35 Bandung termasuk sekolah imbas/sekolah binaan dari SMAN 19 Bandung yang sudah menjadi Sekolah Adiwiyata Nasional Tahun 2013 dan calon Sekolah Adiwiyata Mandiri 2014.
Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang bersih, sehat dan indah, dimana tempat tersebut digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, norma, etika, estetika dan pembentukan karakter yang peduli terhadap lingkungan (Buku Kupas Tuntas Adiwiyata 2011). Sekolah Adiwiyata berbeda dengan Sekolah Hijau karena dalam Adiwiyata, indikator penilaian sisi infrastruktur hanya 10% yang utama adalah pembentukan karakter para warga sekolah yang mencapai 90%.
            Digulirkannya program Adiwiyata oleh Kementerian Lingkungan Hidup, hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam pelestarian lingkungan hidup. Tujuan program Adiwiyata adalah menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.
            Adiwiyata bukanlah lomba, tapi ada penghargaan kepada sekolah yang peduli terhadap lingkungan atau sekolah yang dinilai berhasil mendidik siswa menjadi individu yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Untuk mencapai tujuan Adiwiyata ada empat komponen program yang menjadi satu kesatuan program yaitu Kebijakan Berwawasan  Lingkungan, Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Lingkungan, Kegiatan Lingkungan Berbasis Partisipatif, dan Pengelolaan Sarana Pendukung Ramah Lingkungan.
            Komponen Kebijakan mencakup visi, misi dan tujuan sekolah serta rencana anggaran. Dalam visi, misi dan tujuan harus tercantum kata ”lingkungan” dan terinternalisasi. Begitupun dalam anggaran  sekolah harus berpihak pada lingkungan dan dicantumkan di RKAS. Dalam Kurikulum guru minimalnya 70 % sudah memasukkan isu lingkungan dalam mata pelajaran masing-masing dibuktikan pencantuman di RPP dan kisi-kisi.  Selain itu warga sekolah harus aktif memunculkan isu lingkungan dalam tulisan atau artikel di mading, koran, sosial media dll. Siswa pun harus bisa mengaplikasikan konsep 5R dalam lingkungan, minimalnya 3 R ( Reduse, Reuse dan Recycle). Dalam komponen Partisipatif warga sekolah harus aktif kerja bakti dan menjalin kemitraan dengan lingkungan sekitar. Terakhir Sarana Prasarana diwujudkan dengan kebiasaan hemat ATK, BBM, air, listrik dan ramah lingkungan
Tidak mudah membentuk karakter apalagi ada perubahan tingkah laku yang diwujudkan menjadi pembiasaan hidup sehari-hari dalam hal mencintai lingkungan. Tapi ini tantangan besar, sehingga harus dijadikan komitmen bersama dan membuat pakta integritas supaya satu hati satu suara dalam mewujudkan Sekolah Adiwiyata. Dalam proses penataannya SMPN 35 pun akan memunculkan kembali beberapa ikon unik dan akan menjadi ciri khas untuk menuju Sekolah Adiwiyata 2014.      
Ada yang membanggakan, tahun 2013 Kota Bandung berhasil meraih penghargaan terbanyak untuk Sekolah Adiwiyata Tingkat Nasional yaitu sebanyak 19 sekolah (SDN Sukapura Cibiru, SDN Cijawura, SDN Karangpawulang, SDT Krida Nusantara, SD Muhammadiyah 7, SMPN 2, SMPN 5, SMPN 13, SMPN 21, SMPN 33, SMPN 39, MTsN 1, SMAN 2, SMAN 11, SMAN 14, SMAN 19, SMAN 20, SMAN 24, SMAN 25). Ini mengalami peningkatan karena tahun 2012 hanya lima sekolah yang mendapat penghargaan Adiwiyata Tingkat Nasional yaitu SD BPI, SMP 11, SMP 28, SMA 8, dan SMA 15 dan dua sekolah memenangi Penghargaan Adiwiyata Mandiri (SMPN 36 dan SMKN 13).
Dengan demikian sekarang kota Bandung memiliki 24 sekolah yang berhasil mendapat penghargaan bergengsi dalam bidang lingkungan hidup untuk tingkat nasional dan dua Adiwiyata Mandiri. Diharapkan setiap sekolah yang mendapatkan Adiwiyata wajib menularkan ilmunya dan membina minimal 10 sekolah lainnya.
Semakin banyak yang mendapatkan Adiwiyata berarti semakin banyak yang berhasil menata, merawat dan menjaga lingkungan dengan baik. Intinya kian banyak yang mencintai alam, otomatis bumi pun akan melayani manusia bukan bencana alam lagi, tapi justru akan terjadi keseimbangan alam, menambah umur bumi dan umur kita juga. Amin!

.Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru (Senin , 10/3/2014)

Menularkan Semangat "Endless Reading"

Oleh YOPPY YOHANA

           Endless Reading atau Membaca Tiada Henti, itulah tema “Pameran Buku Bandung 2013” yang baru saja selesai digelar dari tanggal 2 s.d. 8 Oktober 2013 kemarin di Landmark Convention Hall, Jalan Braga 129 Bandung, dari pukul 09.00 s.d. 21.00 WIB. Tema di atas menarik untuk dibahas karena sampai sekarang negara kita masih tertinggal dalam hal minat baca jika dibandingkan negara-negara lain.
Menurut survey UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) tahun 2011, menunjukkan bahwa minat baca masyarakat yang paling rendah di ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah negara Indonesia. Rendahnya minat baca ini dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 (dari seribu penduduk, hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi).  Pada tahun 2012 Indonesia menempati urutan 124 dari 187 negara dunia dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), khususnya terpenuhinya kebutuhan dasar penduduk, termasuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan melek huruf. Indonesia dengan penduduk 165,7 juta jiwa lebih, hanya memiliki jumlah terbitan buku sebanyak 50 juta per tahun. Itu artinya, rata-rata satu buku di Indonesia dibaca oleh lima orang.
Pameran Buku Bandung 2013 merupakan salah satu sarana untuk menumbuhkan minat baca masyarakat sekaligus merangsang masyarakat untuk mencintai dunia membaca dan menulis. Lebih dari itu dalam pameran buku biasanya berkumpul puluhan penerbit dan percetakan sehingga bisa merangsang para penulis yang bertemu di pameran untuk lebih produktif lagi dalam menulis buku.
Penulis berharap semangat “Endless Reading” ini bukan hanya milik mereka yang bisa berkunjung dan membeli buku di tempat pameran, tapi harus bisa menembus lingkungan sekolah keluarga dan masyarakat. Jadi siapapun yang berkunjung harus bisa memotivasi dan menularkan semangat “Membaca Tiada Henti” ini di lingkungannya masing-masing. Sekolah merupakan lingkungan yang paling dekat dengan dunia buku sehingga para pendidik khususnya para guru diharapkan bisa memotivasi siswa-siswinya dalam hal membaca sejak dini.
Dengan adanya BOS buku dari pemerintah dan dibagikannya berbagai jenis buku pengayaan, penulis yakin tiap sekolah mempunyai banyak koleksi buku. Namun, masalahnya sudah sejauhmana buku tersebut dibaca dan dimanfaatkan oleh warga sekolah sampai bisa memahami dan menghayati isinya. Pada tahun 1995 berdasarkan survei Departemen Pendidikan Nasional, sebanyak 57% pembaca dinilai hanya sekadar membaca tanpa memahami dan menghayati apa yang dibaca. Tahun 2013 ini mudah-mudahan awal dari perubahan untuk gemar membaca di semua kalangan.
Menurunnya minat baca masyarakat Indonesia tidak terlepas dari kurangnya kesadaran publik akan arti penting membaca bagi peningkatan kemampuan dan kesejahteraan diri maupun bangsa. Selain itu, maraknya media elektronik (televisi, internet dan handphone) yang kebanyakan berisi tayangan hiburan, iklan komersial, pornografi, iklan komersial, dan hal-hal hedonistis lainnya bisa menjauhkan masyarakat dari budaya membaca.
Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukkan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca buku/koran (23,5%). Menurut penulis ternyata bukan hanya di masyarakat,  motivasi membaca di lingkungan sekolah pun masih rendah. Disinilah tantangan dan kewajiban para pendidik untuk “mengkondisikan” siswa sekaligus gurunya untuk gemar membaca.
Dari Pameran Buku Bandung 2013 dengan tema “Endless Reading” mudah-mudahan menjadi semangat baru untuk menumbuhkan minat baca khususnya di kota Bandung dan bisa menular ke seluruh wilayah Nusantara. Amiin…    
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        
*Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
(Terbit di Koran PR, Senin, 14 Oktober 2013)

Aksara dan Bahasa Sunda Kian Meredup



Oleh YOPP YOHANA
Kurikulum 2013 tingkat SMP semakin membatasi penggunaan bahasa daerah, khususnya Bahasa Sunda sebagai muatan lokal (mulok) wajib di Jawa Barat. Padahal sejak 2003 mulok wajib Bahasa Sunda tercantum dalam Perda Jabar No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Perda di atas merupakan penyempurnaan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda.
Sayang sekali kalau dalam kurikulum 2013 nanti, Bahasa dan Aksara Sunda nasibnya tidak jelas, bisa jadi guru mengajarkan atau tidak karena diintegrasikan dengan pelajaran lain yang belum tentu guru bersangkutan mampu. Padahal sebelum ada informasi kurikulum 2013, penulis sempat berharap banyak Aksara Sunda dijadikan mulok pilihan yang mempunyai jam khusus yaitu 2 jam pelajaran sama dengan mulok wajib Bahasa Sunda. Tetapi dengan adanya kurikulum baru, entahlah! Kenyataan di lapangan tidak mudah mempelajari Bahasa Sunda apalagi Aksara Sunda, itu semua membutuhkan waktu dan latihan yang sering, apalagi hanya mengandalkan sisa dari pelajaran lain. Berarti tidak ada jaminan Bahasa dan Aksara Sunda diajarkan apalagi sampai siswa bisa.
Walau sudah ada mulok wajib Bahasa Sunda, ternyata tidak semua sekolah dan guru Bahasa Sunda bisa mengenalkan dan mengajarkan Aksara Sunda kepada siswa, apalagi sudah tidak tercantum sebagai mata pelajaran. Kepada siapa lagi diwariskan mengenai Bahasa dan Aksara Sunda kalau bukan kepada anak cucu kita yaitu para siswa yang ada di sekolah-sekolah. Mulai tahun depan semakin kecil kesempatan siswa mempelajari Bahasa dan Aksara Sunda, bisa jadi tidak mengenal sama sekali, sedih!. Jangan sampai nasib Bahasa Sunda tidak ada penuturnya lagi? Ngeri, kalau nasibnya nanti akan seperti Aksara Sunda yang sempat menghilang sampai ratusan tahun dan orang Sunda sendiri tidak bisa membacanya apalagi menuliskannya. Sampai-sampai ada anggapan bahwa aksara Sunda sama tulisannya dengan aksara Jawa (Hanacaraka), padahal orang Sunda mempunyai aksara sendiri yang disebut Kaganga. Ini disebabkan karena adanya konspirasi dari penjajah Belanda dengan melarang penggunaan aksara Sunda dan adanya pengaruh ekspansi kerajaan Mataram ke wilayah Sunda.
Sangat disayangkan adanya kebijakan kurikulum baru ini, padahal di Jawa Barat Bahasa dan Aksara Sunda tengah menggeliat. Orang Sunda seperti menemukan kembali jati dirinya setelah Aksara Sunda Kuno mulai terungkap dan dikenalkan kembali. Aksara Sunda Kuno pun disempurnakan sehingga sekarang dikenal dengan adanya Aksara Sunda Baku yang mengalami penambahan beberapa bunyi. Namun khusus Aksara Sunda belum semua sekolah mengajarkannya baru beberapa sekolah itu juga kurang fokus dan kontinyu. Kalau Pemerintah melakukan sosialisasi baru sebatas penamaan jalan raya, papan nama museum dan beberapa galeri serta paguyuban-paguyuban Sunda. Entah bagaimana nasib Bahasa dan Aksara Sunda kalau dalam kurikulum 2013 sudah tidak menjadi pelajaran mandiri?
Ada kasus yang lucu dan menyedihkan, ternyata para sarjana Bahasa Sunda yang katanya sempat belajar Aksara Sunda di kampus, tetapi tidak bisa membaca dan mengerti naskah-naskah Sunda Kuno apalagi prasasti. Usut punya usut ternyata yang dipelajari di Perguruan Tinggi bukan Aksara Sunda (Kaganga) tapi  Aksara Jawa (Hanacaraka), ya jelas tulisannya jauh berbeda.
Solusinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus turun tangan, dan tetap membuat kebijakan supaya Bahasa dan Aksara Sunda tetap diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kalau di sekolah dalam mulok pilihan atau boleh juga sekolah menambah jumlah jam pelajaran dan ekstrakurikuler. Namun pemerintah bukan hanya membuat kebijakan, tapi harus benar-benar dipastikan bahwa sekolah mengajarkannya kepada siswa. Menurut para ahli, bisa dikatakan terancam punah kalau penutur Bahasa Daerah kurang dari 500 orang.
Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru (Kamis , 27/2/2013)

Mengenalkan Budaya Sunda



Oleh YOPPY YOHANA
Banyak sekali budaya Sunda yang perlu kita kenalkan kepada anak cucu kita supaya generasi berikutnya tidak pareumeun obor atau tuna budaya, tetapi tetap mikawanoh dan bangga terhadap budayanya sendiri. Hasil dari budaya orang Sunda yang terkenal diantaranya: tentang adat dan adabnya, bahasanya, termasuk di dalamnya prilaku sopan-santun, dan cara berpakaian.
Khusus mengenai cara berpakaian orang Sunda menarik untuk dibahas, karena penuh dengan makna dan siloka, tetapi sekarang ini jarang ditemui orang Sunda memakainya.  Seperti diungkapkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi (PR, 25 Juni 2012) tradisi Samping Jangkung, Gelung Jucung, Pangsi dan Iket mulai dilupakan.  Sehingga digelar Lomba tentang cara berpakaian tradisional Sunda dengan nama acara: Lomba “ Samping Jangkung, Gelung Jucung, Pangsi Iket Festival 2012” di Purwakarta tanggal 23 Juni 2012.
Menurut penulis, sebaiknya mengenalkan pakaian tradisional Sunda bukan hanya kepada remaja dan orang dewasa yang dianggap sudah tidak tertarik lagi dan terkontaminasi budaya barat, tetapi mengenalkannya harus mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP dan seterusnya. Mengenai pakaian Sunda, bukan hanya mengenalkan tetapi harus menjadi pembiasaan di setiap sekolah dan masuk dalam tata tertib sekolah, misalnya cukup satu kali dalam seminggu yaitu tiap hari sabtu semua wajib memakai pakaian tradisional Sunda.
Khusus untuk pakaian batik sekolah, Alhamdulillah kita patut berbangga karena sudah menjadi pembiasaan mulai dari tingkat dasar sampai atas biasanya tiap hari rabu-kamis atau kamis saja karena hari jumat biasanya memakai baju koko. Semua instansi di luar sekolah pun sudah menjadi keharusan ada satu hari untuk memakai batik. Tetapi untuk pakaian tradisional Sunda nampaknya belum ada sekolah yang menentukan satu hari untuk memakainya. Alangkah indahnya kalau misalnya tiap hari sabtu semua siswa dan guru memakai pakaian tradisional Sunda. Kelihatannya lebih membumi dan punya jati diri Sunda. Kalau laki-laki pangsi dengan iketnya, perempuan kebaya, samping jangkung dan gelung jucungnya.
Samping jangkung melambangkan kegesitan. Ibu-ibu Sunda dahulu itu kuat, gesit, cepat, bekerja serta berusaha dengan kelembutan menghadapi berbagai perubahan. Gelung jucung, melambangkan ulet, kuat, dan kerja keras. Ibu-ibu Sunda rambutnya selalu diikat ke atas itu berarti bekerja keras. Pangsi/kampret melambangkan lelaki Sunda itu kuat, cepat dan pekerja keras. Kampret juga melambangkan cuaca di Sunda panas dan dingin. Sehingga terciptalah Kampret dengan dua warna yaitu hitam untuk musim hujan dan putih untuk musim kemarau.
Iket melambangkan kecerdasan antara pikiran dan hati, kecerdasan emosional, intelektualitas dan spiritualitas. Seluruh pembangunan di Tatar Sunda atau Jawa Barat bisa berhasil karena menggunakan pikiran dan hati. Selain itu iket pada bagian depannya berupa segi tiga runcing melambangkan tentang keesaan Allah mengisyaratkan ketika kita dimana saja harus ingat kepada Yang Maha Kuasa.
Pakaian itu merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia. Namun yang paling penting bukan hanya memperlihatkan pakaiannya, tetapi memaknai gerak jalan orang Sunda harus maju dan cepat menghadapi perubahan. Jangan sampai orang Sunda kesannya berleha-leha, nyantai dan ngagere ceuli saja persis Si Kabayan. Padahal karakter orang Sunda yang asli adalah gesit, pekerja keras, bersinergi dengan alam, someah dan tegas. Karakter tersebut terlihat bukan hanya dari cara berpakaian tetapi dari huruf atau aksara Sunda pun sudah menggambarkan ketegasan orang Sunda. Lihat saja jenis huruf dan aksara Sunda karakternya seperti angka tujuh atau seperti pacul tidak banyak pupuringkelan seperti aksara dari daerah lainnya.
Mudah-mudahan orang-orang Sunda generasi sekarang dan yang akan datang mampu  menggali potensinya sendiri dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga orang Sunda lebih motekar dan maju dari segala bidang. Untuk kebijakan satu hari dalam seminggu memakai pakaian adat Sunda minimalnya di sekolah dahulu, kita tunggu apakah para pemimpin kita ada yang peduli, bangga jeung nyaah ka budaya sorangan. Masa kalah oleh para pelajar dan mahasiswa luar negeri yang belajar di kita termasuk para turisnya yang bangga memakai pakaian adat kita.

                        Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru (Sabtu, 17/11/2012)