Saturday, August 2, 2014

Aksara dan Bahasa Sunda Kian Meredup



Oleh YOPP YOHANA
Kurikulum 2013 tingkat SMP semakin membatasi penggunaan bahasa daerah, khususnya Bahasa Sunda sebagai muatan lokal (mulok) wajib di Jawa Barat. Padahal sejak 2003 mulok wajib Bahasa Sunda tercantum dalam Perda Jabar No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Perda di atas merupakan penyempurnaan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda.
Sayang sekali kalau dalam kurikulum 2013 nanti, Bahasa dan Aksara Sunda nasibnya tidak jelas, bisa jadi guru mengajarkan atau tidak karena diintegrasikan dengan pelajaran lain yang belum tentu guru bersangkutan mampu. Padahal sebelum ada informasi kurikulum 2013, penulis sempat berharap banyak Aksara Sunda dijadikan mulok pilihan yang mempunyai jam khusus yaitu 2 jam pelajaran sama dengan mulok wajib Bahasa Sunda. Tetapi dengan adanya kurikulum baru, entahlah! Kenyataan di lapangan tidak mudah mempelajari Bahasa Sunda apalagi Aksara Sunda, itu semua membutuhkan waktu dan latihan yang sering, apalagi hanya mengandalkan sisa dari pelajaran lain. Berarti tidak ada jaminan Bahasa dan Aksara Sunda diajarkan apalagi sampai siswa bisa.
Walau sudah ada mulok wajib Bahasa Sunda, ternyata tidak semua sekolah dan guru Bahasa Sunda bisa mengenalkan dan mengajarkan Aksara Sunda kepada siswa, apalagi sudah tidak tercantum sebagai mata pelajaran. Kepada siapa lagi diwariskan mengenai Bahasa dan Aksara Sunda kalau bukan kepada anak cucu kita yaitu para siswa yang ada di sekolah-sekolah. Mulai tahun depan semakin kecil kesempatan siswa mempelajari Bahasa dan Aksara Sunda, bisa jadi tidak mengenal sama sekali, sedih!. Jangan sampai nasib Bahasa Sunda tidak ada penuturnya lagi? Ngeri, kalau nasibnya nanti akan seperti Aksara Sunda yang sempat menghilang sampai ratusan tahun dan orang Sunda sendiri tidak bisa membacanya apalagi menuliskannya. Sampai-sampai ada anggapan bahwa aksara Sunda sama tulisannya dengan aksara Jawa (Hanacaraka), padahal orang Sunda mempunyai aksara sendiri yang disebut Kaganga. Ini disebabkan karena adanya konspirasi dari penjajah Belanda dengan melarang penggunaan aksara Sunda dan adanya pengaruh ekspansi kerajaan Mataram ke wilayah Sunda.
Sangat disayangkan adanya kebijakan kurikulum baru ini, padahal di Jawa Barat Bahasa dan Aksara Sunda tengah menggeliat. Orang Sunda seperti menemukan kembali jati dirinya setelah Aksara Sunda Kuno mulai terungkap dan dikenalkan kembali. Aksara Sunda Kuno pun disempurnakan sehingga sekarang dikenal dengan adanya Aksara Sunda Baku yang mengalami penambahan beberapa bunyi. Namun khusus Aksara Sunda belum semua sekolah mengajarkannya baru beberapa sekolah itu juga kurang fokus dan kontinyu. Kalau Pemerintah melakukan sosialisasi baru sebatas penamaan jalan raya, papan nama museum dan beberapa galeri serta paguyuban-paguyuban Sunda. Entah bagaimana nasib Bahasa dan Aksara Sunda kalau dalam kurikulum 2013 sudah tidak menjadi pelajaran mandiri?
Ada kasus yang lucu dan menyedihkan, ternyata para sarjana Bahasa Sunda yang katanya sempat belajar Aksara Sunda di kampus, tetapi tidak bisa membaca dan mengerti naskah-naskah Sunda Kuno apalagi prasasti. Usut punya usut ternyata yang dipelajari di Perguruan Tinggi bukan Aksara Sunda (Kaganga) tapi  Aksara Jawa (Hanacaraka), ya jelas tulisannya jauh berbeda.
Solusinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus turun tangan, dan tetap membuat kebijakan supaya Bahasa dan Aksara Sunda tetap diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kalau di sekolah dalam mulok pilihan atau boleh juga sekolah menambah jumlah jam pelajaran dan ekstrakurikuler. Namun pemerintah bukan hanya membuat kebijakan, tapi harus benar-benar dipastikan bahwa sekolah mengajarkannya kepada siswa. Menurut para ahli, bisa dikatakan terancam punah kalau penutur Bahasa Daerah kurang dari 500 orang.
Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru (Kamis , 27/2/2013)

No comments:

Post a Comment