Oleh YOPP YOHANA
Kurikulum 2013 tingkat SMP semakin membatasi penggunaan
bahasa daerah, khususnya Bahasa Sunda sebagai muatan lokal (mulok) wajib di
Jawa Barat. Padahal sejak 2003 mulok wajib Bahasa Sunda tercantum dalam Perda
Jabar No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Perda
di atas merupakan penyempurnaan Perda No. 6 tahun 1996
tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara
Sunda.
Sayang sekali kalau dalam kurikulum 2013 nanti, Bahasa
dan Aksara Sunda nasibnya tidak jelas, bisa jadi guru mengajarkan atau tidak karena
diintegrasikan dengan pelajaran lain yang belum tentu guru bersangkutan mampu.
Padahal sebelum ada informasi kurikulum 2013, penulis sempat berharap banyak Aksara
Sunda dijadikan mulok pilihan yang mempunyai jam khusus yaitu 2 jam pelajaran
sama dengan mulok wajib Bahasa Sunda. Tetapi dengan adanya kurikulum baru,
entahlah! Kenyataan di lapangan tidak mudah mempelajari Bahasa Sunda apalagi
Aksara Sunda, itu semua membutuhkan waktu dan latihan yang sering, apalagi
hanya mengandalkan sisa dari pelajaran lain. Berarti tidak ada jaminan Bahasa
dan Aksara Sunda diajarkan apalagi sampai siswa bisa.
Walau sudah ada mulok wajib Bahasa Sunda, ternyata tidak
semua sekolah dan guru Bahasa Sunda bisa mengenalkan dan mengajarkan Aksara
Sunda kepada siswa, apalagi sudah tidak tercantum sebagai mata pelajaran. Kepada
siapa lagi diwariskan mengenai Bahasa dan Aksara Sunda kalau bukan kepada anak
cucu kita yaitu para siswa yang ada di sekolah-sekolah. Mulai tahun depan
semakin kecil kesempatan siswa mempelajari Bahasa dan Aksara Sunda, bisa jadi
tidak mengenal sama sekali, sedih!. Jangan sampai nasib Bahasa Sunda tidak ada
penuturnya lagi? Ngeri, kalau nasibnya nanti akan seperti Aksara Sunda yang
sempat menghilang sampai ratusan tahun dan orang Sunda sendiri tidak bisa
membacanya apalagi menuliskannya. Sampai-sampai ada anggapan bahwa aksara Sunda
sama tulisannya dengan aksara Jawa (Hanacaraka), padahal orang Sunda mempunyai
aksara sendiri yang disebut Kaganga. Ini disebabkan karena adanya konspirasi
dari penjajah Belanda dengan melarang penggunaan aksara Sunda dan adanya
pengaruh ekspansi kerajaan Mataram ke wilayah Sunda.
Sangat disayangkan adanya kebijakan kurikulum baru ini,
padahal di Jawa Barat Bahasa dan Aksara Sunda tengah menggeliat. Orang Sunda
seperti menemukan kembali jati dirinya setelah Aksara Sunda Kuno mulai
terungkap dan dikenalkan kembali. Aksara Sunda Kuno pun disempurnakan sehingga sekarang
dikenal dengan adanya Aksara Sunda Baku yang mengalami penambahan beberapa bunyi.
Namun khusus Aksara Sunda belum semua sekolah mengajarkannya baru beberapa sekolah
itu juga kurang fokus dan kontinyu. Kalau Pemerintah melakukan sosialisasi baru
sebatas penamaan jalan raya, papan nama museum dan beberapa galeri serta
paguyuban-paguyuban Sunda. Entah bagaimana nasib Bahasa dan Aksara Sunda kalau
dalam kurikulum 2013 sudah tidak menjadi pelajaran mandiri?
Ada kasus yang lucu dan menyedihkan, ternyata para
sarjana Bahasa Sunda yang katanya sempat belajar Aksara Sunda di kampus, tetapi
tidak bisa membaca dan mengerti naskah-naskah Sunda Kuno apalagi prasasti. Usut
punya usut ternyata yang dipelajari di Perguruan Tinggi bukan Aksara Sunda
(Kaganga) tapi Aksara Jawa (Hanacaraka),
ya jelas tulisannya jauh berbeda.
Solusinya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus turun
tangan, dan tetap membuat kebijakan supaya Bahasa dan Aksara Sunda tetap
diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kalau
di sekolah dalam mulok pilihan atau boleh juga sekolah menambah jumlah jam
pelajaran dan ekstrakurikuler. Namun pemerintah bukan hanya membuat kebijakan,
tapi harus benar-benar dipastikan bahwa sekolah mengajarkannya kepada siswa.
Menurut para ahli, bisa dikatakan terancam punah kalau penutur Bahasa Daerah
kurang dari 500 orang.
Penulis,
Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan
di HU Pikiran Rakyat, Kolom Forum Guru (Kamis , 27/2/2013)
No comments:
Post a Comment