Saturday, August 2, 2014

Jangan Matikan Potensi Anak

Oleh : YOPPY YOHANA

Perjalanan hidup seorang Thomas Alfa Edison layak dijadikan salah satu sumber inspirasi bagi para guru, siswa, pihak sekolah maupun orang tua dalam mendidik anak. Alkisah, suatu hari seorang bocah berusia tujuh tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya membaca kertas tersebut, “Tommy, anak ibu sangat bodoh. Kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah”. Sang ibu terhenyak membaca surat itu, namun ia segera membuat tekad yang teguh “Anak saya, Tommy, bukan anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia”.
            Tommy kecil adalah Thomas Alva Edison yang kita kenal sekarang, salah satu penemu terbesar di dunia. Dia hanya bersekolah sekitar tiga bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang untuk terus maju. Guru menilainya terlalu bodoh, menganggap Edison tak mampu menerima pelajaran apa pun. Untunglah ibunya, Nancy pernah berprofesi menjadi guru. Sang ibu mengajarinya membaca, menulis dan berhitung. Ternyata Edison dengan cepat menyerap apa yang diajarkan ibunya. Edison kemudian sangat gemar membaca. Siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah agak tuli yang bodoh sampai-sampai diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang jenius.
            Dari uraian di atas kita bisa instrospeksi diri, jangan-jangan selama kita mengajar dan mendidik sempat atau pernah melakukan judgement telalu cepat kepada anak padahal setiap anak didik memiliki karakter dan tipe kecerdasan yang berbeda. Seperti yang diungkapkan oleh Tony Buzan, dalam buku Head First (2003) yang telah mengembangkan otak dan pembelajaran mengatakan bahwa setiap orang memiliki sepuluh kecerdasan yang belum banyak digali meliputi kecerdasan kreatif, pribadi, sosial, spiritual, jasmani, indriawi, seksual, numerik, spasial, dan verbal. Seorang guru yang ideal tentunya harus memahami kecerdasan dominan apa yang dimiliki anak didiknya, sehingga ketika anak “gagal” dalam pelajaran yang satu, belum tentu ia “gagal” pada bidang lain. Disinilah peran pendidik ditantang, menganggap anak gagal karena hanya satu hal, berarti telah mematikan masa depan hidup anak itu.
            Sejauh ini, guru masih mengalami kendala dalam mengarahkan anak didiknya  berdasarkan tipe atau jenis kecerdasan yang dimiliki, sehingga treatment atau perlakuan terhadap anak didik dianggap sama rata. Jika demikian, bagaimana pendidik dapat membedakan mana anak yang berpotensi di bidang seni, sains, atau sastra kalau perlakuan ngajarnya disamaratakan tanpa melihat kemampuan yang dimiliki anak. Paling tidak catatan ini akan membangkitkan kesadaran bahwa ini sebagai bagian dari tanggung jawab pendidik, yakni menilai anak didik tidak berdasarkan pandangan konvensional yang menilai kecerdasan anak hanya dilihat dari kemampuan eksakta.   
             Beruntunglah Thomas kecil memiliki seorang Ibu (Nancy Elliot) yang mengerti. Sang Ibu tidak serta merta menerima vonis dari gurunya begitu saja. Keyakinan dan usaha keras seorang Ibu membuahkan hasil yang luar biasa. Thomas Alfa Edison dalam sepanjang hidupnya telah mematenkan lebih dari seratus penemuan yang berbeda. Dari cerita akhir Thomas ini juga mengisyaratkan bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, namun keluarga dan orang tua memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan seorang anak. Selain itu, hasil penelitian disebutkan bahwa hampir 90% keberhasilan ditentukan dari motivasi dan hanya 10% dari bakat. Idealnya kesinergian pihak sekolah dan orang tua akan menjadi penentunya.  

Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di Harian Umum Pikiran Rakyat, Sabtu, 2 Maret 2013.

 

No comments:

Post a Comment