Oleh : YOPPY YOHANA
Perjalanan hidup seorang Thomas Alfa Edison layak
dijadikan salah satu sumber inspirasi bagi para guru, siswa, pihak sekolah
maupun orang tua dalam mendidik anak. Alkisah, suatu hari
seorang bocah berusia tujuh tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke
rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya membaca kertas tersebut, “Tommy, anak ibu sangat bodoh. Kami minta
ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah”. Sang ibu terhenyak membaca surat
itu, namun ia segera membuat tekad yang teguh “Anak saya, Tommy, bukan anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik
dan mengajar dia”.
Tommy kecil adalah Thomas Alva Edison yang kita kenal
sekarang, salah satu penemu terbesar di dunia. Dia hanya bersekolah sekitar tiga
bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang
untuk terus maju. Guru menilainya terlalu bodoh, menganggap Edison tak
mampu menerima pelajaran apa pun.
Untunglah
ibunya, Nancy pernah berprofesi menjadi guru. Sang ibu mengajarinya membaca,
menulis dan berhitung. Ternyata Edison dengan cepat menyerap apa yang diajarkan
ibunya. Edison kemudian sangat gemar membaca. Siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah agak tuli yang bodoh
sampai-sampai diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang
jenius.
Dari uraian di atas kita bisa
instrospeksi diri, jangan-jangan selama kita mengajar dan mendidik sempat atau
pernah melakukan judgement telalu
cepat kepada anak padahal setiap anak didik memiliki karakter dan tipe kecerdasan
yang berbeda. Seperti yang diungkapkan oleh Tony Buzan, dalam buku Head First (2003) yang telah
mengembangkan otak dan pembelajaran mengatakan bahwa setiap orang memiliki
sepuluh kecerdasan yang belum banyak digali meliputi kecerdasan kreatif, pribadi, sosial, spiritual, jasmani, indriawi,
seksual, numerik, spasial, dan verbal. Seorang guru yang ideal tentunya harus
memahami kecerdasan dominan apa yang dimiliki anak didiknya, sehingga ketika
anak “gagal” dalam pelajaran yang satu, belum tentu ia “gagal” pada bidang
lain. Disinilah peran pendidik ditantang, menganggap anak gagal karena hanya
satu hal, berarti telah mematikan masa depan hidup anak itu.
Sejauh ini, guru masih mengalami
kendala dalam mengarahkan anak didiknya
berdasarkan tipe atau jenis kecerdasan yang dimiliki, sehingga treatment atau perlakuan terhadap anak
didik dianggap sama rata. Jika demikian, bagaimana pendidik dapat membedakan
mana anak yang berpotensi di bidang seni, sains, atau sastra kalau perlakuan
ngajarnya disamaratakan tanpa melihat kemampuan yang dimiliki anak. Paling
tidak catatan ini akan membangkitkan kesadaran bahwa ini sebagai bagian dari
tanggung jawab pendidik, yakni menilai anak didik tidak berdasarkan pandangan
konvensional yang menilai kecerdasan anak hanya dilihat dari kemampuan
eksakta.
Beruntunglah Thomas kecil memiliki seorang Ibu
(Nancy Elliot) yang mengerti.
Sang Ibu tidak serta merta menerima vonis dari gurunya begitu saja. Keyakinan
dan usaha keras seorang Ibu membuahkan hasil yang luar biasa. Thomas Alfa
Edison dalam sepanjang hidupnya telah mematenkan lebih dari seratus penemuan
yang berbeda. Dari cerita akhir Thomas ini juga mengisyaratkan bahwa pendidikan
bukan hanya tanggung jawab sekolah, namun keluarga dan orang tua memiliki andil
besar dalam menentukan keberhasilan seorang anak.
Selain itu, hasil penelitian disebutkan bahwa hampir 90% keberhasilan
ditentukan dari motivasi dan hanya 10% dari bakat. Idealnya kesinergian pihak sekolah dan orang tua akan
menjadi penentunya.
Penulis, Guru Seni Budaya SMPN 35 Bandung
Dipublikasikan di Harian Umum Pikiran Rakyat, Sabtu, 2 Maret 2013.
No comments:
Post a Comment