Membicarakan wayang dan manusia selalu menarik, aktual dan unik. Wayang adalah simbol atau bahasa dari hidup dan kehidupan manusia. Sedang manusia adalah kita-kita ini sendiri dengan segala perbuatan dan dunianya. Wayang adalah laksana sumber air yang ditimba tanpa ada habisnya. Makin getol manusia ingin mendalami wayang, makin takjublah ia.
Wayang adalah salah satu cara untuk mengenal diri (manusia). Karena dalam pergelaran wayang sesungguhnya digelarkan atau dipertunjukkan suatu lakon dari hidup dan kehidupan manusia. Maka setelah melihat wayang selalu akan timbul pertanyaan yang sudah lama, tetapi masih tetap baru yaitu: Apakah manusia itu? Siapakah aku ini?
Dengan mengetengahkan wayang sebagai salah satu sarana untuk mengenal manusia, maka diharapkan walau hanya setetes, dapat merupakan sumbangan pikiran dalam samudranya ilmu pengetahuan tentang wajah manusia seutuhnya, yaitu manusia riil, konkrit, wajar, apa adanya dan apa yang sebenarnya. Jadi dengan melihat wayang dan mengenal wayang, diharapkan bahwa manusia menjadi sadar akan dirinya,, bahwa dirinya memang betul-betul ada dan adanya lengkap dengan dunianya. Manusia diharapkan dapat menghadapi dunianya serta mampu menghadapi dunianya dan menemukan dirinya. Atau dengan kata lain, bahwa para pengamat wayang diharapkan mampu menjadi subjek sekaligus sebagai objek. Pendek kata manusia adalah objek sekaligus subjek.
Wayang telah menyajikan “tontonan hidup” kepada kita, bahwa untuk menghadapai, menemukan dan mengenal diri sendiri ini, manusia ternyata tidak cukup menggunakan akal budi atau berfilsafat saja, tetapi dengan cara lain, misalnya: kontemplasi, bertafakur, menyepi. Di dalam wayang kenyataan hidup, dan hidup itu sendiri akan digelar, dipentaskan secara simbolis sebagai suatu lakon, sekarang tingkal manusia sendiri menguak, mengkaji dan membedahnya.
Jadi untuk memahami wayang sangat tergantung kepada alat atau pisau bedah yang dimilikinya untuk membedah simbolisme dalam wayang. Memang semuanya itu memerlukan waktu, kesabaran dan kedewasaan dalam olah pikir, olah nalar olah rasa.
ARJUNA BUKAN DON JUAN TETAPI
SATRIA JANTAN MAHASAKTI
Banyak salah tafsir tentang Arjuna. Ia dikira “thukmis bathuk klimis”, Don Juan. Arjuna bukan Don Juan ataupun nama sebutannya bagi orang yang “mata keranjang’ terhadap wanita cantik. Mengapa karena wayang adalah bahasa symbol, bukan pergelaran sejarah yang bersifat lahiriyah. Tetapi lebih bersifat rohaniah yang “tan wadag”. Oleh karena itu, janganlah terlalu diartikan secara lahiriah. Wayang adalah bahasa hidup dari kehidupan itu sendiri. Arjuna berarti air jernih dalam “jun” atau jambangan,. Ia adalah symbol dari (jiwa) manusia yang jernih pikirannya laksana jernihnya air dalam jambangan.
Ia juga bernama Kuntodi, yang berarti panah tajam yang ampuh. Ia merupakan symbol dari manusia yang memiliki jiwa dan daya pikir yang tajam melibihi tajamnya panah sakti. Pendek kata, kalau ia menempuh ujian atau testing apapun pasti lulus dengan predikat cum laude, sangat mamuaskan. Kiranya wajar kalau sang guru Drona sangat mencintainya, demikian pula banyak orang mencintainya.
Ia juga bernama Janaka, yang berasal dari suku kata “Jana” dan “ka”. “Jana” = manusia dan “ka” = azas/sebutan untuk laki-laki atau jantan. Jadi Janaka berarti manusia laki-laki atau jantan. Disamping itu juga berarti: tukang menurunkan. Ia bukan saja jantan secara biologis, tetapi jantan dalam watak dan perbuatannya, maka ia mendapat gelar “lelananging jagad” .
Seperti halnya manusia, setiap pria tentu beristerikan wanita, jantan dengan betina, tentu saja setiap Janaka (manusia laki-laki) harus beristerikan putri (manusia perempuan). Wanita atau betina dalam jagad filsafat merupakan simbol dari kesaktian. Janaka atau Lingga dan kesaktiannya yang berupa tenaga dan kekuatan itu tak dapat dipisahkan. Pendek kata Janaka atau Lingga itu azas laki-laki (male), sedang sakti dan Yoni aza perempuan (female).
Begitu juga pahlawan atau prajurit, sehabis menang perang biasanya mendapat bintang sakti atau kalungan rangkaian bunga. Kalau dalam dunia wayang kalungan bunga dan kesaktian Janaka diwujudkan berupa wanita. Pendek kata Isteri dan nama Arjuna itu menunjukan kesaktian dan jabatannya.
Selain nama gelarnya di atas, Arjuna bernama Karitin = raja di Kahyangan, Wibatsu, Gudakesa = prajurit mahasakti, Ciptoning = pendeta bersih. Kalau dahulu sudah ada kartu nama, maka untuk menulis jabatan dan titelnya saja pasti memerlukan kertas lebar. Pendek kata ia Satria Jantan Maha Sakti. Bukankah setiap ibu menginginkan anaknya bersipat satria, jantan, sakti, genius, dan berpekerti baik ?
Isteri Arjuna yang tinggal bersama dalam satu atap bernama Subadra yang ayu, ramah dan penuh sifat keibuan. Srikandi (Sri=rejeki, kandi=tempat beras= tempat rejeki), berwajah manis, menarik dan larasati wanita luwes, cantik penuh dengan rasa cinta kasih. Bukankah istri harus berfungsi sebagai ibu, teman dan kekasih? Belum lagi jumlah senjatanya. Ia memiliki Pasopati = Pemusnah angkara. Ardadedali = peluru kendali. Pulanggeni = pembakar seperti api. Pendek kata ia adalah seorang penembak jitu dan tepat.
Kalau zaman pewayangan dahulu sudah ada tanda-tanda kehormatan, dan emblem, maka pasti pundak dan dadanya akan penuh dengan segala macam logam, bintang, pita, kalung dan selempang, dan lemarinya pasti penuh dengan kertas-kertas ijazah dan piala. Namun itu semua tidak ia pakai. Arjuna wayangnya polos tanpa ornamen dan perhiasan tetapi justru disebut terbagus.
Memang Arjuna lambang (jiwa) yang baik pekertinya, jantan perbuatannya, dan mahasakti keperwiraannya.
ARJUNA, PROFIL CENDEKIAWAN
YANG BERJIWA MIYAR-MIYUR
Miyar-miyur jangan disamakan dengan plin-plan. Plin-plan, satu sikap yang menjurus ke jiwa pengecut. Sedangkan orang yang berjiwa miyar-miyur itu mungkin karena maunya baik dengan semua orang. Sehingga ia tidak sampai hati kalau menolak pandangan/ajakan orang lain. Tegasnya manusia yang berjiwa miyar-miyur adalah orang yang tidak mampu mangatakan “tidak” sekalipun bertentangan dengan hati nuraninya. Karena tidak sampai hati menyakiti orang lain.
Contoh:
1. Sewaktu Sri Kresna akan diutus sebagai duta ke Astina untuk “njubel Negara”, Sri Kresna sebelum berangkat menanyakan pendapat satu per satu ke 5 pandawa. Dalam hal ini Puntadewa menyatakan kalau trah Kurawa mau tetap “nggegegi”/mempertahankan Astina, ya berikan saja.Wijasena berpendirian, Astina adalah hak Pandawa. Kalau Kurawa “Nggegegi” dengan kekerasan, kitapun harus lawan dengan kekerasan (perang).
2. Ketika minta pada Dewa bersama dengan Sri Kresna supaya dalam perang Baratayuda menang, Arjuna ditanya oleh Dewa, apa permintaannya. Jawabannya, supaya menang dalam perang Baratayuda, dan Pandawa 5 selamat. Mendengar jawaban ini, Kresna terperanjat dan menyatakan kalau begitu yang selamat hanya Pandawa 5. Anak-anak Pandawa akan habis.Mendengar ini Arjuna menyesal.Tapi apa boleh buat,sudah terlanjur,tidak bias di ulang lagi. Maka dalam Baratayuda yang selamat tinggal Pandawa 5. Putra-putra Pandawa mati semua, sekalipun Pandawa menang perang.
3. Waktu sedang berkecamuknya perang Baratayuda, Abimanyu telah gugur dalam medan perang. Arjuna jadi linglung da menyatakan pada Sri Kresna:
Lebih baik tidak usah diteruskan saja, perang Baratayuda ini, toh yang saya cita-citakan, yaitu Abimanyu yang bisa menggantikan raja telah gugur. Jadi tidak ada gunanya kalau perang diteruskan, serahkan saja Astina kepada Kurawa. Mendengar ucapan ini Sri Kresna jadi tertawa dan memberikan nasehat banyak pada Arjuna.
Kesimpulan:
Jadi dari ketiga contoh di atas, Arjuna itu kalau dihadapkan pada suatu problem, ibarat orang yang berdiri di perempatan jalan dia bingung, mau ke utara, ke timur ke barat atau ke selatan. Di baru teguh dan tahu jalannya menuju sasarannya, setelah didampingi Sri Kresna atau Semar.
ARJUNA TERSANDAR DI KERETA KRESNA
SEBAGAI EKSTASE MISTIK
Seperti kita ketahui, bahwa Baratayuda adalah suatu perang besar antara keluarga Pandawa melawan Keluarga Kurawa untuk mempertahankan keadilan, kebenaran dan untuk menuntut kembali hak Negara Indrapresta dan Negara Astina yang sudah bertahun-tahun lamanya dijadikan jajahan oleh Kurawa. Akibat adanya pertentangan prinsip yang sudah sangat kritis, maka pada suatu hari yang fatal bertemulah segala kekuatan fisik dan militer yang sudah sejak lama dipersiapkan di medan laga Kurusetra.
Di sini Arjuna meminta pada Sri Kresna agar kereta pusaka Kyai Jaladara diajukan ke medan perang. Sri Kresna yang pada waktu itu bertindak sebagai botoh dan kusir (saisnya). Arjuna segera meniup sang Sangka Panjajaya sebagai pertanda komando siap menuju ke medan perang. Dalam suatu waktu sekecap mata kereta Jaladara sampai di tengah medan laga Kurusetra. Setelah Arjuna melihat musuh yang dihadapinya adalah saudara-saudara sepupunya, kakak, adik, guru, paman, mertua kekasih , maka seketika itu juga menjadi ragu-ragulah Arjuna, terkulai, lemas layu sayu, dan bersedih hati.
Katanya:
“Oh, Kanda Kresna, setelah hamba melihat semua itu sanak saudara kami sendiri, yang berhadapan untuk saling bunuh membunuh, tiba-tiba hamba tidak mempunya kekuatan sedikitpun. Berdirilah bulu roma hamba, mulut hamba terasa kering, badan hamba bergetar, kulit hamba panas seperti terbakar, dan hamba tak kuasa berdiri lagi
Bahkan hamba kehilangan semangat dan kemauan lagi. Apakah itu bukan tanda yang buruk? Hamba tidak menginginkan kemenangan. Tidak menginginkan kesenangan dan kekuasaan apapun. Apa artinya kerajaan dan kekuasaan kalau didapat dengan cara membunuh saudara, guru dan keluarga sendiri. Apa itu bukan suatu dosa yang besar bagi seorang hamba yang tiada melawan tiada bersenjata. Biarlah kemenangan dia miliki. Apakah ini bukan jalan yang paling utama.”
Demikianlah keluh Arjuna sambil membuang busur serta anak panahnya, dan jatuhlah Arjuna bersandar diatas kareta yang masih berada di tengah-tengah medan laga.
Sabda Sri Kresna dengan penih kebijaksanaan:
“Hai Arjuna, bagaimana dan darimana kamu dapat merasa putus asa dan ragu-ragu setelah melihat musuhmu? Lenyapkanlah segala rendah diri dan nista, karena itu tidak pantas, tunjukkanlah sifat kejantananmu.angkatlah senjatamu, majulah perang dengan gagah berani.”
Dengan rasa pilu Arjuna menghadap :
“Duh kanda Kresna bagaimana mungkin hamba dapat melepaskan anak panah kepada eyang Bisma dan Brahmana Drona dua panglima yang harus dihormati oleh siapapun. Walau hamba diberi kuasa tiga Buana, hamba tak sanggup dan tak kuasa membunuh keluarga hanya untuk kesenangan duniawi. Sebab itu semua kami anggap dosa besar, karena Eyang Bisma yang mengasuh hamba sejak kecil sampai dewasa, sedang Brahmana Drona adalah guru hamba, beliaulah yang memberi ilmu perang kepasa hamba. Mohon kiranya kanda Kresna memberi petunjuk pada kami yang sedang bimbang dan ragu.
Tunjukkan kewajiban hamba, hamba tidak mengetahui apakah yang dapat melenyapkan kesetiaan hamba. Hamba tidak mau berperang, untuk merebut kesenangan yang tak seberapa nilainya, kalau jalan yang harus ditempuh dengan cara membunuh saudara sedaging. Duh Kanda Kresna, mohon Baratayuda dihentikan sekian saja.”
Dengan sangat terharu Sri Kresna beringsut maju seraya menanggapi rasa kesedihan Arjuna, sabdanya:
“Hai Arjuna kesayangan Dewata, kamu ternyata menyedihkan hal yang tidak perlu kau susahkan. Segala apa yang kau ucapkan adalah benar, kalau dilihat dari kacamat Brahmana. Tapi ingatkan kamu bukan Brahmana, tetapi seorang Satria.
Satria mempunyai tugas dan kewajiban mempertahankan dan menyelamatkan Negara dan Bangsa serta membela segala bentuk keadilan dan kebenaran. Jalankanlah kewajibanmu kalau kamu ingin disebut Satria Sejati. Jangan kau kira perang Baratayuda ini persoalan merebut tahta kerajaan dan kesenangan duniawi.
Sama sekali jauh dari itu. Kamu jangan mempersoalkan mati dan hidup, senang dan susah itu semuanya tidak langgeng. Ingatlah bahwa yang menjelma di badan manusia itu selamanya ada, dan akan terus ada, juga tak akan dirusakkan oleh apapun, dia tidak luka karena senjata, dia tidak akan terbakar karena api. Tidak akan basah karena air dan tidak akan kering karena panas dan dingin. Jadi tidak pantas kalau orang menyusahkan kerusakan manusia. Yang rusak hanyalah raganya. Yang utama bagi satria adalah menjalankan tugas dan kewajibannya, yang begitu tinggi dan dalam, sehingga menjadi kewajiban terhadap Tuhan sendiri, yakni karmamu. Hai Arjuna, karmamu adalah mempertahankan dan menyelamatkan Negara dan bangsamu.
Bagi satria tidak ada yang lebih mulia daripada menjalankan kewajiban yang telah dititahkannya.
Kewajiban perang inipun termasuk juga didalamnya. Berbahagialah satria yang mendapat kesempatan menunaikan dharmanya. Karena itu mereka seolah-olah pintu gerbang sorga telah terbuka. Tetapi jika engkau tidak melaksanakan kewajibanmu sebagai satria, maka selain engkau membuang-buang kemasyuranmu, engkaupun berdosa. Semua orang akan menghinamu selama-lamanya, dan bagi orang terhormat, noda ini lebih hebat daripada kematian di medan perang.
Juga lawan-lawan akan menganggap engkau pengecut, apabila engkau meninggalkan medan laga. Hai adikku Arjuna, antara mati ada mati yang paling hina, yaitu apabila satria mati adilnya, prajurit mati keberaniannya, pandita mati kejujurannya, dan wanita mati rasa malunya.
Apabila engkau kelak gugur di medan perang, engkau akan menikmati kekuasaan di atas bumi, dihormati sesamamu, dan engkau akan dikatakan gugur sebagai pahlawan bangsa, harum namamu. Maka dari itu bangkitlah!!! Hai Arjuna, periksalah dengan seksama, henengken kalbumu, heningkan ciptamu, dan sekarang dengarkan perkataanku dengan sepenuh hatimu. Bahwa jasa baik dan keutamaan Eyang Bisma, wajib pula kamu balas dengan kebaikan pula, tetapi bukan disini tempatnya. Di sini bukan pawiyatan, dan bukan pertemuan keluarga, tapi medan pertempuran. Siapa lengah akan mati. Bagi satria, di dalam pertempuran sudah tidak ada bedanya guru dan murid, eyang dan cucu, yang ada hanyalah musuh dan teman. Walaupun saudara, kalau jelas ia membantu musuh, maka wajib disirnakan. Hai Arjuna, majulah perang, kerjakan segala kewajibanmu tanpa menghitung/menghiraukan apa akan hasilnya”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bagus Dear..tetep semangat menulis yach
ReplyDelete